MAKALAH
SUMBER HUKUM ISLAM
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah:
Pengantar Study Hukum Islam
Drs. Nur Salim
,S.H., M.Pd.I.
Disusun oleh :
Hamidah Assuyib
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RADEN QOSIM (STAIRA)
BANJARANYAR PACIRAN LAMONGAN
2013
KATA PENGANTAR
Bismillah
Hirahmanirahim
Assalamualaikum
warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Tak lupa Sholawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW.
Alhamduillah
Syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala kasih sayang-Nya makalah tentang ”SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM ’’ ini
telah selesai. Semua itu tak lepas dari dukungan beberapa pihak. Maka, tak lupa
kami ucapkan terimakasih atas semua bantuan serta keikhlasan sehingga makalah
ini bisa selesai. Meskipun masih banyak
kekurangan baik dari segi pembahasan maupun tulisan. Manusia tempatnya
salah dan lupa, namun sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yag mau
bertaubat dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Dari sanalah kami harapkan
saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan kelancaran proses
pembelajaran kami dan demi kebaikan kita bersama.
Harapan kami
semoga makalah ini dapat membawa manfaat baik bagi kami sendiri maupun kita
semua serta bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Banjaranyar, 18
februari 2014
penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTARISI
...........................................................................................................iii
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah..................................................................................... 1
1.3
Tujuan ...................................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN..................................................................................... 2
2.1 Alqur’an
2.2 Hadist
2.3 Ijtihad.
Bab III : PENUTUP ............................................................................................... 5
A.
Kesimpulan ............................................................................................. 6
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 7
BAB I
PEMBUKAAN
1.1
Landasan Teori
Kata-kata
sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti
wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama
adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata
dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran.
Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena
sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al
Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Secara
sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini
dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat
peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah
laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat
semua yang beragama Islam”. Maksud kata
“seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci
dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana penjelasan
alqur’an sebagai sumber hukum islam ?
2.
Bagaimana penjelasan
hadist sebagai sumber hukum islam ?
3.
Bagaimana penjelasan
ijtihad sebagai sumber hukum islam ?
1.3 TUJUAN PEMBUATAN
1.
Mengetahui alqur’an sebagai
sumber hukum islam
2.
Mengetahui hadist sebagai
sumber hukum islam
3.
Mengetahui ijtihad sebagai
sumber hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
2.1 Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang
diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri
dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban
untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangnannya.
Al-Quran
dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para
sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah
Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc
penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang
sekarang disebut pula Mushaf Utsmani
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
- Tuntunan
yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan
dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul,
hari akhir, serta qadha dan qadar
- Tuntunan
yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi
pekerti yang baik serta etika kehidupan.
- Tuntunan
yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
- Tuntunan
yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas
dan kualitas.
A. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan
77.439 kosa kata
A. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi
menjadi 3 (tiga) bagian:
- Hukum
yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah
dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu
yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
- Hukum
yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah,
dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan
disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
- Hukum
yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki
sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua
kelompok:
- Hukum
yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji,
nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan tuhannya.
- Hukum
yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian
perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan
lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
- Hukum
yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu
perkawinan dan warisan
- Hukum
yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli
(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya
agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
- Hukum
yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah
- Hukum
yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan
hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
- Hukum
yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan
Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
- Hukum
yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq
dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang
rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya
berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini
banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun
tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan
zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya
berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang
sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa
kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar
dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan
dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat
yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
2.2. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku
Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir).
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT
telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “ … Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW
ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur
dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka
akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW
memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum
Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu
seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya,
yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki
kedua fungsi sebagai berikut.
- Memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al
Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya
Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta,
sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di
google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj :
30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang
juga berisi larangan berdusta.
2. Memberikan rincian dan penjelasan
terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an
yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya
bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana
cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan
cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah
SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan
bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut: (lihat Al-Qur’an
onlines di google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu
haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan.
Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan,
yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam
bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan
belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan
yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang
dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan
tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ
مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang
dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya
dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai
berikut:
- Hadits
Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat
hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshohehan suatu hadits
- Hadits
Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits
yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu
berat atau tidak terlalu penting
- Hadits
Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits
yang shohih, yaitu:
- Rawinya
bersifat adil
- Sempurna
ingatan
- Sanadnya
tidak terputus
- Hadits
itu tidak berilat, dan
- Hadits
itu tidak janggal
Kodifikasi Hadits dilakukan pada
masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan
sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu
mulai menyusun kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya
Al-Mutwaththa, Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i
menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah.
Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan
Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui
kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya
Shahih Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim.
Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam
Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang kemudian
diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian
diseleksinya.
Ulama Hadits lainnya yang terkenal
adalah Imam Nasa'i yang menuangkan koleksi haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam
Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu
Majah dalam Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul
Imam, dan Imam Daruquthni dalam Sunan Daruquthni.
2.3 Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya,
baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat
dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal,
ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan
Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di
dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
- mengetahui
isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
- memahami
bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan
hadits
- mengetahui
soal-soal ijma
- menguasai
ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun
hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang
telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا
حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ
( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim
dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar,
maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan
perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam bukan saja membolehkan adanya
perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya
beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat
manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
(رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di
antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat
menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh
imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah
wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan
menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an
onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran yang
beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa
: 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk
taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin
pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi
salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang
berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang
ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada
hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.
Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman
keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun
bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan
karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an. Sebelum
mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun
Qiyas, yaitu:
- Dasar
(dalil)
- Masalah
yang akan diqiyaskan
- Hukum
yang terdapat pada dalil
- Kesamaan
sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
- Istihsan/Istislah,
yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret
dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau
kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
- Istishab,
yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari
hukum tersebut
- Istidlal,
yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara
kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi
adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini
ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan
hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan
tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
- Maslahah
mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak
diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah
itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang
telah ditetapkan.
- Al
‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya
- Zara’i,
ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau
untuk menghilangkan mudarat.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah
SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril dan merupakan sumber hukum utama .
·
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah
Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
·
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an
maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta
berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil
ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga
·
DAFTAR
PUSTAKA
Endang Saifuddin Anshari.1978. Kuliah
Al-Islam. Bandung : Pustaka Bandung.
Drs. Nasruddin Razak. 1989. Dienul
Islam. Bandung : Maarif
Bandung.
Zainab Al-Ghazali. Menuju Kebangkitan Baru. 1995.
Jakarta: Gema Insani Press Jakarta.
H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah
Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam,. 1985.
Yogyakarta: PLP2M Yogyakarta.