Kamis, 27 Februari 2014

perkembangan hak asasi manusia di indonesia


Perkembangan HAM di Indonesia

A. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A.    Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
Perkembangan HAM pada periode sebelum kemerdekaan memiliki ciri khas seperti besifat tradisional.Dengan cara yang sederhana,dipimpin oleh tokoh masyarakat,agama atau kalangan bangsawan,belum teroganisasi secara modern,dan khususnya perjuangan kemerdekaan masih mengandalkan kekuatan fisik persenjataan.contoh tokoh masyarakat yang menyelamatkan HAM adalah R.A Kartini dan Dewi Sartika,beliau memperjuangkan peningkatan harkat dan martabat kaum wanita pada masanya,perjuangan fisik yang mengandalkan kekuatan senjata,misalnya Si Singamangaraja,Cut Nyak Dien,Tuanku Imam Bonjol,Pangeran Diponogoro,Sultan Hasanudin,Patimura,dan tokoh lainya.
  Perjuangan HAM pada masa Kebangkitan Nasional(1908)
Perkembangan HAM pada masa kebangkitan nasional di mulai dengan banyaknya kaum terpelajar  di Indonesia, maka semakin meningkat pula pemahaman dan kesadaran akan persamaan harkat dan martabat manusia terutama hak kemerdekaan dan kebebasan sebagai suatu bangsa.disamping itu ,meningkat pula pengetahuan dan cara-cara memperjuangkan hak kemerdekaan dengan itu terjadi perubahan strategi dari mengandalkan kekuatan fisik dengan strategi organisasi diplomasi dan politik.contoh-contoh perjuanganya sebagai berikut :
  Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
  perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri..
   Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
  Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
  Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan
   Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
  Perjuangan HAM pada masa sumpah pemuda
Perkembangan HAM pada masa sumpah pemuda tepatnya tanggal 28 oktober 1928 yang bertujuan memberi pengaruh yang sangat kuat pada organisasi pergerakan nasional pada masa itu semula pada jaman itu banyak yang tidak berani secara tegas tujuan mencapai Indonesia merdeka,namun setelah adanya kongres pemuda, organsasi-organisasi mulai berani untuk menyatakan Indonesia merdeka.dalam masa itu banyak tumbuh partai-partai politik dengan asasnya masing-masing yang semuanya berujuan utamanya Indonesia merdeka.

B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
=>  Periode awal kemerdekaan Indonesia (1945 – 1950)
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen

=>  Periode 1950 – 1959 (Masa Orde lama)
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan tum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik
=> Periode Orde Baru
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pada tahun 1990-an usaha masyarakat dalam menegakkan mulai membuahkan hasil , yakni berdirinya KOMNAS HAM dalam upaya penegakan HAM.
=>  Periode 1998 – sekarang (masa reformasi)
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Kondisi Hukum HAM di Indonesia pada masa kekuasaan pemerintahan Orde Baru tentu saja menjadi lebih parah. Pada masa orde baru pemerintahan telah mengekang hak berserikat, hak berekspresi dan hak berpendapat. Selain itu, pemerintahan orde baru juga melakukan eliminasi dan mereduksi konsep HAM serta melakukan pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa.

Senin, 17 Februari 2014

The Wealth of Nations


The Wealth of Nations atau lengkapnya Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations adalah karya terbesar Adam Smith yang terbit tahun 1776. Buku ini dianggap telah mengakhiri masa kejayaan merkantilisme yang memandang kemakmuran suatu bangsa terletak pada akumulasi emas. Kaum merkantilis telah membela pandangan bahwa Inggris harus melepaskan barang-barang untuk memperoleh emas. Tapi menurut Smith, hal itu salah. Suatu bangsa haruslah mengakumulasikan barang-barang dan bukannya emas. Emas, dalam pandangan Smith, pada dasarnya tidaklah ada gunanya bagi suatu bangsa, kendati mungkin berguna bagi individu. “Apakah kemakmuran yang sebenar-benarnya dari bangsa-bangsa?” Tulis Smith. “Kemakmuran tidak terletak pada emas, malainkan pada barang-barang”.
Lalu, darimana letaknya sumber kemakmuran itu? Adam Smith memandang pertama-tama tenaga kerja sebagai sumber kemakmuran. Adam Smith memberi perhatian besar kepada masalah pembagian kerja dan menyelidiki arti pembagian kerja bagi kehidupan ekonomi. Disinilah untuk pertama kalinya teori pembagian kerja dilihat sebagai dasar produksi massa. Pembagian kerja dan pengejaran kepentingan sendiri-sendiri mendorong petukaran. Dan pertukaran mendorong pembagian kerja. Sedang pembagian kerja secara intensif ini akan memperbesar produktifitas kerja. Akhirnya produktifitas kerja meningkatkan kemakmuran bangsa.
“Peningkatan kuantitas pekerjaan yang besar, sebagai konsekuensi pembagian kerja, yang memungkinkan sejumlah orang dapat melaksanakannya, disebabkan tiga hal: pertama, peningkatan keterampilan para pekerja; kedua, penghematan waktu yang biasanya terbuang karena perpindahan dari satu jenis pekerjaan ke jenis pekerjaan yang lain; ketiga, penemuan sejumlah besar mesin yang mempermudah dan mempersingkat pekerjaan, dan yang memungkinkan seorang pekerja mengerjakan pekerjaan banyak orang.” Dari pernyataan ini tidak hanya ditemukan analisa proses kerja tetapi juga menciptakan pekerja terperinci (spesialis). Kedua langkah itu tergantung pada skala produksi: tanpa kuantitas produksi yang cukup, analisa proses kerja menjadi tidak praktis. Tiap langkah meghemat waktu kerja. Penghematan paling besar justru pada analisa proses kerja, dan besarnya penghematan selanjutnya tergantung pada sifat proses kerja
“Dalam pandangan pembagian kerja, penggunaan sebagian besar tenaga kerja, yakni bagian terbesar dari masyarakat, ternyata hanya terbatas dalam beberapa kegiatan sederhana, sering hanya dalam satu atau dua kegiatan. Tetapi pemahaman sebagian besar manusia dibentuk oleh pekerjaan mereka sehari-hari.Seseorang yang hidupnya dihabiskan untuk melakukan beberapa kegiatan sederhana, yang dampaknya mungkin selalu sama, tidak berkesempatan untuk menggunakan pemahaman atau penemuannya untuk menanggulangi kesulitan yang memang tidak timbul. Ia tentu mengunakan kebiasaan-kebiasaan seperti itu dan biasanya tumbuh menjadi sebodoh dan setidakacuh mungkin.”
Peningkatan keterampilan pekerja menjadi dasar spesialisasi hingga batas yang dimungkinkan oleh ukuran besarnya pasar. Smith memberi contoh suatu pabrik peniti kecil tempat sepuluh orang yang diperlengkapi dengan mesin-mesin seadanya bisa menghasilkan 48.000 peniti sehari, sedangkan masing-masing orang, jika dia merajin secara terpisah dan bebas tentu tidak bisa menghasilkan duapuluh, barangkali hanya satu peniti sehari. Inilah asa yang terkenal mengenai pembagian kerja. “Bagaimana cara bisnis ini dijalankan, bukan saja seluruh pekerjaan merupakan bentuk yang khusus tetapi dibagi ke dalam sejumlah cabang yang sebagian besar merupakan bentuk-bentuk khusus. Satu pekerjaan menarik kawatnya, yang lain meluruskan, yang ketiga memotong, yang keempat meruncing, yang kelima melubangi di bagian kepala; untuk membuat kepala jarum dibutuhkan 2 atau 3 kegiatan yang berbeda, untuk memesangkannya adalah suatu kegiatan khusus, untuk memutihkannya adalah kegiatan khusus lain; bahkan adalah suatu kegiatan tersendiri lagi untuk membungkusnya dengan kertas; dan pekerjaan paling menurut dengan cara ini terbagi menjadi sekitar 18 pekerjaan yang berbeda, yang dibeberapa pabrik dilaksanakan oleh pekerja yang berbeda, meskipun di pabrik lain, pekerja yang sama melakukan 2 atau 3 kegiatan yang berbeda. Saya telah melihat satu pabrik kecil yang mempekerjakan 10 pekerja. Beberapa orang diantaranya melakukan 2 atau 3 kegiatan yang berbeda. Meskipun pabrik ini hanya memiliki peralatan sederhana, ia dapat menghasilkan 12 pon peniti sehari, stu pon terdiri dari 4000 lebih peniti ukuran sedang. Kesepuluh orang itu dapat membuat lebih dari 48.000 peniti sehari. Dengan demikian setiap orang membuat sepersepuluh dari ke-48.000 peniti, itu dianggap membuat 48.000 peniti sehari. Tetapi jika mereka mengerjakannya secara terpisah dan tanpa mendapat pendidikan tentang bisnis ini, masing-masing mereka pasti tidak dapat membuat 20 batang, bahkan mungkin juga tidak dapat membuat satu peniti dalam sehari..”
Menurut Adam Smith, pembagian kerja kapitalis muncul karena superioritas teknologi. Namun demikian, superioritas pembagian pekerjaan ke dalam tugas-tugas yang lebih terspesialisasi secara rumit itu hanya dibatasi oleh besarnya pasar.
Istilah lain yang terkenal muncul dalam buku The Wealth of Nations ini adalah keyakinannya tentang invisible hand atau “tangan yang tak tampak” yang bekerja dalam kehidupan ekonomi, bertindak dengan cara sedemikian sehingga setiap orang, meskipun berusaha mengejar kesejahteraan yang maksimum, tapi hasil bersih dari usaha-usaha itu akan berupa kesejahteraan maksimum bagi masyarakat seluruhnya. Tangan yang tak tampak ini tidak lain adalah pasar itu sendiri.
“Setiap orang berupaya untuk menggunakan modalnya sehingga menghasilkan nilai yang paling tinggi. Biasanya ia sama sekali tidak merniat untuk meningkatkan kepentingan umum dan juga tidak tahu sejauh mana ia bergerak ke arah itu. Ia hanya mementingkan diri sendiri dan mengejar kebahagiaan sendiri. Ia tanpa disadari dibimbing oleh ‘Tangan yang tak tampak’, yang bukan merupakan bagian dari keinginannya. Deangan mengejar kepentingannya sendiri, seringkali ia meningkatkan kepentingan umum lebih efektif daripada bila ia secara sungguh-sungguh berusaha melakukannya.”
Secara umum, invisible hand merupakan ekspresi dari individualisme ekonomi. Diktrin invisible hand merupakan suatu konsep untuk menjelaskan mengapa hasil mekanisme pasar terlihat begitu rapi dan tertib. Pandangan Smith mengenai fungsi penggerak mekanisme pasar ini telah mengilhami para akar ekonomi modern, baik mereka yang setuju maupun yang menentang paham kapitalisme.
Karya Adam Smith, Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations mencerminkan ideology kapitalisme klasik. Smith menganjurkan untuk membongkar birokrasi Negara dan menyerahkan keputusan-keputusan ekonomi kepada kekuatan-kekuatan pasar yang mengatur dirinya sendiri secara bebas. Smith memang mengakui kekurangan-kekurangan kaum bisnis, tetapi ia pun berpendapat bahwa kaum bisnis hanya akan membuat kesalahan kecil saja bila dunia usaha ditandai oleh persaingan bebas. Dalam pandangan Smith, keuntungan pribadi dan kesejahteraan umum dapat diserasikan oleh kekuatan-kekuatan impersonal kompetisi pasar.
Smith menyinggung konsep pertumbuhan struktur sosial dan ekonomi semacam monopoli ketika dia mencela orang-orang yang berada dalam perdagangan yang sama yang bersekongkol untuk menaikkan harga tiruan, tetapi dia tidak melihat implikasi luas dari praktik-prektik semacam itu. Pertumbuhan struktur-struktur ini, dan khususnya struktur kelas, menjadi tema sentral dalam analisis ekonomi Marx. Adam Smith membenarkan keuntungan kapitalis dengan lebih banyak mesin dan pabrik untuk kebaikan umum. Dia mencatat perjuangan antara pekerja dan majikan dan usaha-usaha kedua pihak untuk ikut campur tangan dengan pasar. Pada titik inilah Marx melancarkan kritik atas pandangan Smith.

MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM



MAKALAH

SUMBER HUKUM ISLAM
                                                                                                                
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Pengantar Study Hukum Islam

Drs. Nur Salim ,S.H., M.Pd.I.


Disusun oleh :
Hamidah Assuyib




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RADEN QOSIM (STAIRA)
BANJARANYAR PACIRAN LAMONGAN
2013
KATA PENGANTAR

Bismillah Hirahmanirahim
Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji syukur kehadirat  Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Tak lupa Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW.
Alhamduillah Syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala kasih sayang-Nya makalah tentang ”SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM ’’ ini telah selesai. Semua itu tak lepas dari dukungan beberapa pihak. Maka, tak lupa kami ucapkan terimakasih atas semua bantuan serta keikhlasan sehingga makalah ini bisa selesai. Meskipun masih banyak  kekurangan baik dari segi pembahasan maupun tulisan. Manusia tempatnya salah dan lupa, namun sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yag mau bertaubat dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Dari sanalah kami harapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan kelancaran proses pembelajaran kami dan demi kebaikan kita bersama.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membawa manfaat baik bagi kami sendiri maupun kita semua serta bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.



Banjaranyar, 18 februari 2014

penyusun




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTARISI ...........................................................................................................iii
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2   Rumusan Masalah..................................................................................... 1
1.3   Tujuan ...................................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN..................................................................................... 2
2.1 Alqur’an
2.2 Hadist
2.3 Ijtihad.
Bab III : PENUTUP ............................................................................................... 5
A.    Kesimpulan ............................................................................................. 6
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 7


BAB I
PEMBUKAAN
1.1 Landasan Teori
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”.  Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana penjelasan alqur’an sebagai sumber hukum islam ?
2.      Bagaimana penjelasan hadist  sebagai sumber hukum islam ?
3.      Bagaimana penjelasan ijtihad  sebagai sumber hukum islam ?

1.3 TUJUAN PEMBUATAN
1.      Mengetahui alqur’an sebagai sumber hukum islam
2.      Mengetahui hadist sebagai sumber hukum islam
3.      Mengetahui ijtihad sebagai sumber hukum islam



BAB II
PEMBAHASAN
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
2.1 Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya.

Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushaf Utsmani

Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
  1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
  2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
  3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
  4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
A.     Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata

A.    Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
  1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
  2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
  3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
  1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
  2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
  1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
  2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
  3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
  4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
  5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
  6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.

2.2. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
  1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
2.      Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW yang  artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
3.      Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
  1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
  2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
  3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
  1. Rawinya bersifat adil
  2. Sempurna ingatan
  3. Sanadnya tidak terputus
  4. Hadits itu tidak berilat, dan
  5. Hadits itu tidak janggal
Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa,  Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah. 
Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian diseleksinya. 

Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i yang menuangkan koleksi haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan Imam Daruquthni dalam Sunan Daruquthni.
2.3 Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
  1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
  2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
  3. mengetahui soal-soal ijma
  4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:

اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ
 ( رواه البخارى و مسلم )

Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim).

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ  
(رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an. Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
  1. Dasar (dalil)
  2. Masalah yang akan diqiyaskan
  3. Hukum yang terdapat pada dalil
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
  • Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
  • Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
  • Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
  • Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
  • Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
  • Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan merupakan sumber hukum utama .
·         Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
·         Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga

·          

DAFTAR PUSTAKA
Endang Saifuddin Anshari.1978. Kuliah Al-Islam. Bandung : Pustaka Bandung.
Drs. Nasruddin Razak. 1989. Dienul Islam. Bandung : Maarif Bandung.
Zainab Al-Ghazali. Menuju Kebangkitan Baru. 1995. Jakarta: Gema Insani Press Jakarta.
H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam,. 1985. Yogyakarta: PLP2M Yogyakarta.
http://www.risalahislam.com diakses pada tanggal 18 februari 2014 pukul 08.30 WIB
http://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/sumber-sumber-hukum-islam/ diakses pada tanggal 18 februari 2014 pukul 08.30 WIB